Monday, March 04, 2013    
Logo BPN      
  Pembaruan Karismatik Katolik  
       
buku pengajaran ISAO LOGO Info Iman Katolik BPN PKK pusat informasi artikel iman sharing dan kesaksian tanya jawab berita dan kegiatan hubungi kami

    | Artikel Menarik | ROH KUDUS | TEOLOGI | SABDA TUHAN | SAKRAMEN | DOA | EVANGELISASI | ICCRS Newsletter | KONVENAS XII - Jakarta 2012 |

Cari:



Alkitab Online


Untuk hari ini belum ada !

 

BUKU-BUKU PENGAJARAN


Items
DIPACU OLEH ROH KUDUS

Pembaruan Karismatik Katolik telah menjadi karunia istimewa dari Roh Kudus kepada Gereja untuk membaruinya. Buku ini adalah panduan yang sangat berguna bagi setiap orang untuk memahami sifat asli dari Pembaruan Karismatik Katolik. Pada hari ini, tanggal 16 Oktober, hari peringatan Baptisan saya, dengan sangat bersukacita saya merekomendasikan buku ini kepada para gembala umat dan para pemimpin Pembaruan agar supaya dapat membantu mereka di dalam membimbing gerakan itu pada arah yang benar di dalam keuskupan dan daerah mereka. ... [more info]



Items
PEDOMAN DASAR

Telah tersusun PEDOMAN DASAR dengan kepanitiaan yang diketuai oleh Romo Antonius Gunardi, MSF. Pedoman dasar ini telah diterima dan disahkan oleh KWI dalam Sidang tahunannya, November 2005.... [more info]



Items
VISI DAN MISI PEMBAHARUAN KARISMATIK KATOLIK di IN

Mengingat perkembangan Karismatik di Indonesia yang cukup pesat, tetapi tanggapan umat maupun pimpinan Gereja yang sering masih simpang-siur, maka dirasa semakin dibutuhkan bimbingan dan pengarahan dari pimpinan Gereja yang resmi, yang lebih jelas dan sesuai dengan iman Gereja. ... [more info]



Artikel Iman : Artikel Menarik
BERBUAH MAKIN LEBAT DAN MAKIN BAIK



BERBUAH MAKIN LEBAT DAN MAKIN BAIK

DALAM PELAYANAN SOSIAL KITA

 

oleh al andang l binawan

 

 

0. Pengantar

 

Baru-baru ini, menurut berita UCAN, 310 peserta (dari 44 negara) menghadiri konperensi ke-13 Pelayanan Pembaruan Karismatik Katolik Internasional (ICCRS, International Catholic Charismatic Renewal Services) yang berlangsung pada tanggal 2-9 Juni 200 9 di Institut Kesejahteraan Kkottongnae yang dikelola Gereja di Eumseong. Tema konperensi adalah Kasih dalam Aksi (Love in Action). Sangat menarik bahwa Bruder James Shin Sang-hyun dari Kkottongnae, sekretaris panitia pelaksana setempat, menyatakan bahwa para pemimpin pembaruan karismatik Katolik berjanji untuk melayani orang miskin, khususnya anak-anak dengan HIV/AIDS di Afrika. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Selama 40 tahun terakhir, gerakan pembaruan karismatik terfokus pada pertemuan doa dan penyembuhan... Kini, cinta dan aksi kami harus tertuju pada misi -- misi untuk keluarga, tetangga, dan masyarakat -- untuk menyebarkan cinta kami kepada orang lain. Tentu saja, pernyataannya ini seolah mewakili para peserta konperensi yang memang dalam pertemuan akbar ini dilatih lebih jauh bagaimana mewujudkan iman dan cinta dalam tindakan-nyata.

 

Mungkin, pernyataan Bruder James di atas terlalu berlebihan untuk konteks gerakan karismatik di Indonesia, karena karya sosial sudah lama disadari bagian penting dari iman. Sunggu disadari bahwa oleh gerakan karismatik Katolik di Indonesia bahwa gerakan pembaharuan itu bukan hanya pembaharuan ke dalam, melainkan juga keluar, dalam karya nyata, dalam bakti sosial. Setidaknya dalam konvenas terakhir (ke X) secara eksplisit sudah disebutkan kata masyarakat, (dalam KAMULAH KARUNIA ISTIMEWA ROH KUDUS BAGI GEREJA DAN MASYARAKAT ). Sementara itu di beberapa konvenas tema sosial agak lebih implisit, seperti JADILAH SAKSIKU (ke I, 1981) atau AKU MENGUTUS KAMU (ke IV, 1988) dan juga KOMUNITAS KARISMATIK YANG BERBUAH (ke IX, 2003).

 

Kesadaran bahwa gerak keluar atau berbuah sebagai bagian hakiki iman ini sungguh menggembirakan, karena tentu sangat sesuai dengan ajaran Yesus, Allah Putera, yang kita sembah. Sebelum lebih jauh, perlu digaris-bawahi lebih dahulu bahwa tidak sedikit orang beriman, termasuk pengikut gerakan karismatik, yang belum sadar penuh bahwa gerak keluar atau berbuah adalah bagian hakiki iman. Itulah sebabnya, para uskup Indonesia, yang tergabung dalam Konperensi Waligereja Indonesia, juga mengingatkan agar kelompok karismatik Katolik tidak melupakan hal ini.[1] Tentunya, arahan para uskup ini juga sejajar dengan pandangan dua uskup besar yang pernah pernah menerbitkan buku bersama, yaitu Kardinal Suenen dari Malines Belgia, yang dikenal sebagai seorang penggerak pembaruan karismatik Katolik, dan Uskup Dom Helder Camara dari Brasil, yang dikenal sebagai seorang penggiat sosial. Pada tahun 1979 mereka menerbitkan buku yang banyak menjadi dibaca orang, yaitu Charismatic Renewal and Social Action.

 

Panggilan untuk mewujudkan iman dan cinta dalam tindakan nyata jelas tidak lepas dari panggilan setiap orang beriman. Panggilan pokok setiap orang beriman adalah kembali kepada Allah Sang Pencipta. Hanya, panggilan itu dilalui dengan hidup di dunia, tidak dilalui dalam sebuah ruang hampa. Dalam gerak itu, manusia diharapkan juga berkarya nyata bagi sesama dan dunia. Untuk itu, Allah Bapa mengirimkan Roh Kudus kepada manusia, sebagai pembimbing, penguat dan penunjuk arah. Allah Pencipta tidak membiarkan kita begitu saja. Allah Bapa kita memang bukan seperti seorang tukang jam yang membiarkan ciptaannya bergerak sendiri.

 

Roh Kudus sebagai penggerak kehidupan jelas berperan sangat penting, bahkan mutlak. Itulah sebabnya, Yesus, Sang Allah Putera, mengatakan bahwa Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan

diampuni. Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni. (Mt. 12: 31). Dalam hal ini, sudah selayaknya manusia berusaha terus-menerus membuka diri terhadap karya Roh Kudus. Karena itu pula, gerakan pembaharuan karismatik Katolik diharapkan bisa memberi kesaksian terhadap upaya keterbukaan ini sebagai bentuk syukur atas iman yang telah kita terima.

 

 


[1] Bdk. Konperensi Waligereja Indonesia, Pembaruan Hidup Kristiani sebagai Karisma Roh: Pedoman Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia, 1995, (Jakarta: Penerbit Obor) hal. 37-38.

 

Dalam hal ini, setidaknya ada tiga karya Roh Kudus sebagai Roh Penggerak Kehidupan dalam hidup manusia yang perlu kita garis-bawahi dalam pembicaraan kita hari ini. Yang pertama adalah bahwa Roh Kudus berperan sebagai pengarah kehidupan. Ia terus-menerus mengingatkan kita, mengetuk hati kita, akan panggilan utama kita sebagai makhluk ciptaan. Dengan kata lain, Roh Kudus mengingatkan kita akan tujuan sejati pejiarahan hidup kita.

 

Yang kedua, Roh Kudus berperan sebagai pemberi kekuatan bagi umat beriman. Kesembuhan hanyalah salah-satu dari anugerahNya dalam peran ini. Yang dipentingkan adalah bahwa dengan kehadiranNya, manusia bisa kuat mengikuti arah yang telah ditunjukkanNya itu.

 

Kemudian, yang ketiga, Roh Kudus juga berperan sebagai pembimbing dalam hidup sehari-hari, menunjukkan bagaimana kita bisa lebih baik dan lebih baik lagi. Tentu, baik dalam hal ini bukan hanya baik untuk diri kita sendiri, melainkan juga untuk sesama dan dunia. Dengan kata lain, Ia menunjukkan jalan kepada kita masing-masing bagaimana bisa bertumbuh dan berbuah lebih lebat dan lebih baik. Singkatnya, itulah bimbingan untuk membaharui diri terus-menerus.

 

Dalam hal ini, yang kiranya bisa menjadi landasan adalah perumpamaan tentang biji yang ditabur dalam Mateus 13:1-23. Dengan memberikan perumpaan ini dengan sangat jelas Yesus menghendaki agar iman atau kabar gembira yang ditaburkan dalam hati kita bisa berbuah lebat. Iman bukan hanya sekedar pelita yang disimpan di bawah gantang, melainkan nyala yang harus dibagikan bagi sesama. Bahkan, lebih jauh lagi, nyala itu harus dibagikan secara lebih maksimal. Dalam arah dinamika inilah makalah singkat ini akan mencoba memberi usul terutama bagaimana kita, dalam konteks di Indonesia, bisa memaksimalkan karya sosial kita. Dengan kata lain, dalam bahasa Yesus, kita bisa berbuah lebih lebat lagi, dalam bimbingan Roh Kudus tentunya, yang memang menggerakkan kita untuk terus-menerus membarui diri. Supaya menjadi lebih jelas, di bagian awal, akan dipaparkan beberapa pendasaran alkitabiah tentang dinamika di atas tadi.

 

1. Panggilan Berbuah

 

Berbuah pada dasarnya adalah conditio sine qua non, atau menjadi sebuah keniscayaan, bagi setiap agama dan setiap orang beriman, apalagi para pengikut Yesus. Seperti disebut di atas, dalam perumpamaan tentang biji yang ditabur Yesus mengharapkan setiap orang beriman bukan hanya tumbuh, tetapi juga berbuah, syukur-syukur seratus kali lipat. Bahkan, dalam perumpamaan lain, Yesus lebih jelas dan bahkan lebih keras mengatakan bahwa Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api. (Luk. 3:  9). Hal yang sama diulang dengan mengatakan  Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! (Luk. 13: 7). Yang ditulis St. Lukas tidak jauh berbeda dengan yang dicatat oleh St. Yohanes tentang sabda Yesus yang mengatakan, Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah. (Yoh. 15: 2).  Kata kuncinya jelas berbuah, dan dengan perumpamaan tentang berbuah ini, dapat dimengerti dengan jelas bahwa iman seharusnya punya dampak sosial.

 

Hal itu pun kemudian menjadi keyakinan dan sikap hidup para pengikut Yesus. Dalam keyakinan inilah St. Paulus dengan lantang berani mengatakan, Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan. Tetapi, jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. (Fil. 1: 21-22). Keyakinan ini kemudian dengan jelas dan tajam diungkapkan oleh St. Yakobus. Dalam suratnya, ia menuliskan kalimat yang sangat terkenal: Jika iman itu tidak disertai dengan perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. (Yak. 2: 17).

 

Kalimat St. Yakobus ini seolah menggaris-bawahi dengan garis tebal keyakinan dan sikap hidup orang-orang Kristen. Selain itu, dengan tajam pula St. Yakobus mengaitkan berbuah dalam bahasa Yesus dengan perbuatan. Dalam hal ini, St. Yakobus tidak berlebihan, karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa berbuah berarti berbuat nyata. St. Petrus mengatakan, Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka. (Pet 2:12). Sementara itu, St. Yohanes juga mengatakan, Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. (1 Yoh. 3:18).

 

Selanjutnya, dalam perjalanan sejarah Gereja, keyakinan bahwa perbuatan adalah keniscayaan iman juga tercermin dalam ajaran para santo-santa. Ungkapan terkenal St. Benedictus (yang hidup pada abad kelima) Ora et labora, tentu terkait dengan keyakinan di atas. Demikian pula St. Ignatius, pendiri Serikat Yesus (yang hidup pada abad keenam-belas) mengatakan, Cinta itu lebih diwujudkan dengan perbuatan daripada diungkapkan dengan kata-kata (Latihan Rohani no. 230). Dalam jaman modern, sikap hidup dan keyakinan ini tercermin dalam sepak-terjang para pejuang iman dan keadilan. Pun, jelas pula terlihat dalam ajaran sosial Gereja, yang terentang dari ensiklik Rerum Novarum (Hal-hal Baru, tentang kondisi para pekerja, oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891) sampai ensiklik Caritas in Veritate (Cinta dalam Kebenaran, oleh Paus Benedictus XVI tahun 2009, yang terkait erat dengan ensiklik Deus Caritas Est yang ditulis kira-kira setahun sebelumnya). Inti dari ajaran sosial Gereja adalah bahwa iman (dan cinta-kasih) harus diwujudkan di lingkungan sekitar kita dan bisa memberi jawaban atas permasalahan-permasalahan sosial (ekonomi, politik, dan juga lingkungan hidup).

 

Dari perkembangan pemahaman tentang sabda Yesus ini, menjadi jelas pula bagaimana iman terkait erat dengan cinta-kasih, dan cinta-kasih terwujud dalam perbuatan. Hal itu berarti bahwa iman dan perbuatan pun dalam kacamata orang beriman- saling mengandaikan. Dalam pemahamanan ini, dapatlah dimengerti dengan mudah apa yang dikatakan Yesus bahwa Karena tidak ada pohon yang baik yang menghasilkan buah yang tidak baik, dan juga tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik. (Luk. 6: 43).

 

2. Berbuah Lebih Lebat

 

Berbuah memang menjadi keniscayaan iman, tetapi tentu saja Yesus tidak hanya meminta untuk berbuah saja. Buah yang dihasilkan sebisa mungkin secara kuantitas- lebih banyak. Hal ini tampak dalam kata-kata Yesus bahwa Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku (Yoh. 15: 8). Itu pun implisit tampak dalam kata-kata ada yang (berbuah) seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. (Mt. 13: 8). Memang, di satu sisi hal itu mengatakan bahwa Yesus pun menerima andai kita hanya berbuah sedikit, asal sungguh diusahakan sekuat tenaga dan setulus mungkin. Ekstrimnya, kalau toh hanya bisa satu setengah kali lipat pun Yesus akan menerima. Dalam perumpamaan tentang talenta (Mt. 25: 14-30), para hamba yang dititipi talenta hanya bisa mengembangkannya dua kali lipat. Karena itu, pokok yang mau disampaikan adalah kuantitas yang terkait dengan kesungguhan kita mengupayakannya.

 

Hanya, di sisi lain, itu pun berarti bahwa Yesus pun berharap bahwa kita seharusnya tidak berpuas diri dengan berbuah tiga puluh kali lipat. Kalau memang bisa seratus kali lipat, mengapa tidak diusahakan? Terkait  dengan ini, harus diingat pula sabda Yesus, Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut. (Luk. 14: 48) Dengan kata lain, selayaknya kita terus mengupayakan agar kita bisa berbuah lebih, dan lebih banyak lagi. Bahkan, lebih banyak tidak hanya terbatas pada seratus kali lipat. Memang, sabda itu pun secara implisit mengatakan bahwa dalam kenyataan ada beberapa tingkatan perwujudan iman dan cinta. Meski hanya dikatakan tiga tingkatan dalam perumpamaan biji yang ditabur (seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat), tidak berarti bahwa tingkatannya hanya sebatas tiga itu.

 

3. Berbuah Lebih Baik

Yang juga diandaikan, selain supaya lebih lebat atau lebih banyak, buah orang beriman seharusnya adalah buah yang kualitasnya baik (bdk. Luk. 6: 43), bahkan buah yang lebih baik lagi. Adanya tingkatan kualitas ini pun secara implisit dikatakan oleh Yesus dengan mengatakan,Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. (Yoh. 15: 13). Dengan mengatakan tidak ada kasih yang lebih besar secara implisit dikatakan bahwa ada kasih yang dalam arti tertentu- tingkatannya kurang besar. Karena kasih harus bermuara pada perbuatan sebagai buah, jelas pula bahwa adanya tingkatan kualitas ini berlaku juga pada berbuah.

 

Jika kita telusuri sabda Yesus, tingkatan itu memang cukup jelas. Secara umum, hukum cinta-kasih (bdk. Mt. 22: 37-40 atau juga Yoh. 15: 12) adalah kerangkanya. Bertolak dari hukum cinta-kasih ini, kriteria penting untuk mencintai dan kemudian menentukan tingkatannya adalah kualitas cinta kita pada Tuhan dan pada diri sendiri. Jika dihubungkan dengan Yoh. 15: 13 tadi, tampak bahwa ukurannya adalah kualitas pengorbanan kita dalam memberikan diri itu. Dalam hal ini, yang terbesar adalah ketika kita memberikan nyawa untuk sahabat-sahabat kita. Karena itu, bisa dikatakan bahwa memberi yang secara subyektif hanya membawa sedikit pengorbanan, nilai -nya juga kecil. Tingkatannya tidak terlalu tinggi. Dalam alur logika ini, sangatlah bisa dipahami bahwa Yesus memuji persembahan janda yang miskin (bdk. Luk. 21: 2-3), meski secara obyektif nilainya kecil. Di mata Yesus, kualitas pemberian si janda itu sangat tinggi, lebih tinggi dari kebanyakan orang.

 

Kalau secara eksplisit dalam tataran kuantitas Yesus menyebut tiga tingkat, dalam tataran kualitas terungkap setidaknya enam tingkatan. Hanya, perlu dicatat lebih dahulu, bahwa tingkatan-tingkatan yang mau disebut disini tidak bermaksud untuk membatasi, hanya sekedar menunjukkan suatu arah atau dinamika agar kita tahu kemana kita bergerak. Tingkatan pertama adalah memberi kepada sesama teman atau saudara. Perbuatan ini adalah mencintai pada tingkatan yang paling elementer, yang sangat biasa dilakukan orang; seperti tampak dalam perkataan Yesus, Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? (Mt 5:47) Dengan kata lain, aspek pengorbanannya kurang tampak.

 

Tingkatan kedua, yang sudah sedikit lebih maju daripada tingkatan elementer adalah tindakan memberi yang tidak mengharapkan balasan, atau bahkan sekedar kepuasan. Secara sangat eksplisit, dalam beberapa ayat, Yesus mengatakan, Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. (Mat 6:2-3). Dalam ungkapan lain, Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya. (Luk 14:12). Dalam hal ini pun, perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37), yang menolong orang yang bukan sebangsanya, adalah contoh kasih yang melampaui batas-batas wilayah dan bangsa.

 

Pada tingkatan ketiga, kita diharapkan bergerak lebih jauh lagi, yaitu memberi atau mencintai mereka yang jelas-jelas berkekurangan. Dalam kisah tentang pengadilan terakhir (Mt. 25: 31-46) jelas Yesus meminta para pengikutnya untuk memperhatikan mereka yang memang membutuhkan bantuan orang lain: yang miskin, yang haus, yang lapar, yang telanjang, yang dipenjara. Pengorbanan yang diminta dari kita tentu saja bukan hanya sekedar tidak mendapatkan balasan (yang memang tidak mungkin), melainkan juga materi dan lebih-lebih hati kita. Dalam pengamatan dan pengalaman, bergaul dan menyapa mereka yang kotor apalagi bau, misalnya, bukanlah perkara yang mudah. Inilah pengorbanan hati yang dituntut dalam tingkatan ini.

 

Yang sedikit lebih tinggi dari tingkatan ini, atau katakanlah tingkatan keempat, adalah cinta-kasih yang menuntut pengorbanan logika atau cara berpikir yang normal. Biasanya kita berpikir dengan mengedepankan kuantitas dan efisiensi/efektivitas. Yesus mengatakan Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? (Luk 15:4). Perumpamaan tentang domba yang hilang (Luk. 15: 1-7)

atau dirham yang hilang (Luk. 15: 8-10), lalu dipertegas dengan perumpamaan anak yang hilang (Luk. 15:11-32), adalah bentuk cinta-kasih atau memberi yang menuntut pengorbanan lebih besar. Dalam hal ini, yang harus kita korbankan adalah perasaan marah dan jengkel pada yang telah pergi, dan kemudian kita harus bersusah-payah mencari.

 

Bentuk pengorbanan terkait dengan pengampunan lebih tampak lagi dalam tingkatan selanjutnya. Tingkatan cinta-kasih yang kelima ini menuntut pengorbanan yang lebih sulit. Para pengikut Yesus bukan hanya diminta untuk mencintai teman, atau juga yang miskin dan menderita, melainkan juga mencintai musuh-musuhnya. Dikatakan dalam Mt 5:43-44, Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Tentu saja sabda Yesus ini sejajar dengan sabda Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. (Mt. 5: 39). Dalam pengalaman kita, betapa tidak mudahlah mengampuni musuh, apalagi mengasihinya! Pengorbanan perasaan dendam dan harga-diri jauh lebih terasa disini.

 

Barulah, tingkatan yang terakhir (keenam) adalah tingkatan yang paling besar, yaitu kasih yang menuntut pengorbanan nyawa seperti dikatakan Yesus di atas. Dalam hal ini, bukan hanya sabda Yesus yang kita dengar, melainkan teladanNya. Ia sendiri mau mati di kayu salib untuk kita manusia. Ia adalah Gembala yang baik bagi kita, seperti dikatakanNya, Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. (Yoh 10:11). Dalam bahasa Paus Benedictus XVI, dengan ini kasih menemukan bentuknya yang paling radikal.[1]

 

4. Kunci dan Sikap agar Berbuah

 

Bisa berbuah lebih lebat dan lebih baik memang bukan perkara mudah. Dalam hal ini Yesus memberikan dua kunci penting untuk mengupayakannya. Kunci penting pertama dikatakan dalam Yoh. 15:4-6, atau ayat yang mendahului beberapa ayat yang telah dikutip di atas. Disini secara jelas dikatakan bahwa Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.  Perintah ini jelas, yaitu agar kita tetap bersatu denganNya. Dalam hidup kita, doa adalah kuncinya.[2]

 

Kunci pertama ini penting karena terkait dengan dua sikap dasar yang perlu diingat dalam upaya berbuah. Sikap dasar pertama dalam upaya berbuah itu pada dasarnya adalah pelayanan. Beberapa kali Yesus menyebutkan sikap dasar ini. Dalam Mrk. 9: 35 dikatakan, Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya. Hal ini tentu saja salah satu konsekuensi logis dari pengikut Yesus yang juga mempunyai sikap dasar pelayanan dengan mengatakan, Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Mt. 20: 28). Dalam sikap pelayanan ini, yang penting digaris-bawahi adalah kesetiaan pada perkara-perkara kecil (bdk. Luk. 19: 17).

 

Terkait erat dengan itu, sikap dasar kedua adalah semangat cuma-cuma, baik tidak mencari upah maupun mencari diri. Sebagai pelayan atau hamba, Yesus mencontohkan sikap seorang pelayan dengan berkata, Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan. (Luk. 17: 10). Seorang pelayan yang baik tidak mencari upah, karena dia tahu upahnya besar di surga (bdk. Mt. 19: 27-30). Seorang pelayan juga tidak mencari kedudukan, karena sebaliknya, barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu (Mt. 20: 27).



[1] Lihat ensiklik Deus Caritas Est, paragraf 12.

[2] Ensiklik Caritas in Veritate jelas menekankan pentingnya hal ini dalam karya sosial kita.


Kunci kedua dikatakan dalam Mt. 13:9, Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar! Hal ini dilanjutkan dengan mengatakan dengan mengutip nabi Yesaya- Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka. Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar. (Mt. 13: 14-16). Yang mau dikatakan ayat-ayat ini pun sangat jelas, yaitu agar kita senantiasa peka, baik peka pada bisikan Tuhan maupun peka pada kebutuhan sesama. Kita harus senantiasa membuka indera kita terhadap dunia, agar ada kaitan erat antara doa dan perbuatan, agar wujud cinta-kasih kita sungguh bisa terus-menerus lebih baik.

 

Terkait dengan hal ini, tiga langkah perwujudan cinta-kasih see-judge-act[1] mencoba mewujudkan secara kongkret kunci-kunci ini. Dalam see (melihat), kita diajak melihat realitas duni dan membuat analisis. Dalam judge (menimbang) kita diajak untuk mendengarkan kehendak Tuhan melalui sabdaNya dalam Alkitab. Tentu, disini diandaikan adanya doa dan kesatuan kita dengan Tuhan. Terakhir, dalam act (berbuat) kita diajak untuk mewujudkan sapaan Tuhan itu dalam tindakan nyata, bukan sekedar kata-kata.

 

5. Langkah Pelayanan Gereja Indonesia

 

Gereja Katolik di Indonesia pun menyadari panggilannya untuk tumbuh dan berbuah. Harus diakui dengan rendah-hati bahwa sudah cukup banyak karya sosial Gereja Katolik untuk bangsa Indonesia, baik dalam bidang sosial maupun politik. Dalam bidang sosial Gereja Katolik dikenali baik karena karya karitatifnya maupun karya kesehatan dan pendidikan. Di samping itu, peran politik umat Katolik selama ini masih bisa dikatakan lumayan. Memang harus ditingkatkan lagi, mengingat ada kecenderungan penurunan kuantitas dan kualitas bila dibandingkan dengan masa lampau.

 

Melihat itu semua, Gereja Katolik di Indonesia tidak mau berpuas diri. Dengan menyadari panggilan untuk terus berbuah lebih baik dan lebih lebat, para uskup menawarkan bentuk pelayanan sosial baru. Dalam Nota Pastoral KWI 2004 (yang lengkapnya berjudul: Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya.), para uskup mengusulkan agar Gereja Katolik ikut berpartisipasi dalam pembentukan habitus baru di tengah masyarakat. Ditengarai bahwa kerusakan hidup bermasyarakat dan berbangsa antara lain disebabkan oleh merebaknya banyak kebiasaan buruk, yang dilandasi oleh kebobrokan moral. Karena menyadari diri bukan sebuah lembaga politik yang bisa melakukan perubahan struktural dan revolutif, Gereja, dalam kekecilannya, mengusulkan proyek sosial baru bernama pembentukan habitus di tengah masyarakat.

 

Dalam Nota Pastoral KWI 2004 itu, habitus dirumuskan sebagai gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok (butir 10). Secara sederhana, habitus bisa diterjemahkan sebagai kebiasaan sosial. Yang mau ditekankan adalah adanya spontanitas dalam berpikir dan bertindak di dalam kehidupan kita sehari-hari. Spontan berarti tidak perlu diingatkan, tidak perlu diwajibkan, atau malah diancam dengan hukuman, dan juga tidak perlu ada iming-iming hadiah (reward). Pendeknya, orang sudah melakukan itu sungguh sebagai kebiasaan, sehingga malu kalau ditegur karena tidak melakukannya. Dalam arti tertentu, disini ajaran cinta-kasih tidak lagi hanya bertengger di kepala, melainkan Firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan. (Ul. 30: 14, dan dikutip juga dalam Rm. 10: 8).

 

Contoh habitus yang sudah lama dan pantas diteruskan adalah berjalan di sebelah kiri, atau kalau mau kencing mencari kamar kecil. Contoh habitus baru yang masih perlu terus dipupuk adalah antre. Contoh habitus baru yang sedang dirintis adalah menaruh dan memilah sampah. Sementara itu, masih banyak habitus baru yang perlu dibentuk bersama-sama.

 



[1] Dirumuskan dan dipopulerkan oleh Cardinal Joseph Cardijn (1882-1967), pendiri Young Christian Workers, yang berasal dari Belgia.

 

Sebagai sebuah bentuk pelayanan sosial baru, beberapa catatan perlu diperhatikan. Pertama, hasil dari pelayanan macam ini baru bisa dirasakan dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, pelayanan ini membutuhkan proses yang panjang, sehingga memang membutuhkan kesabaran. Kedua, yang disasar adalah perkara perilaku manusia-nya, maka juga menyangkut kesadaran dan cara-berpikir. Yang disasar bukan urusan teknisnya. Sasaran ini memang lebih tepat ditangani oleh Gereja sebagai lembaga agama, yang nota-bene bukan lembaga pemerintah atau lembaga bisnis. Ketiga, karena prosesnya lama, dibutuhkan kesinambungan dan keberlanjutan program, bukan hanya program insidental atau aksidental saja. Ketiga, karena habitus pada dasarnya adalah perilaku sosial, bukan perilaku sekelompok orang saja, diperlukan kerja-sama yang baik dengan pihak-pihak lain, baik sesama masyarakat warga (kelompok agama lain dan lembaga swadaya masyarakat), maupun lembaga pemerintahan dan lembaga bisnis, lebih-lebih karena umat Katolik adalah minoritas.

 

Dalam konteks pembicaraan kita, bentuk baru pelayanan sosial ini bisa dikatakan sebagai sebuah upaya untuk berbuah lebih baik. Ada beberapa hal yang bisa diapresiasi. Pertama, upaya pembentukan habitus yang dilakukan dari yang sederhana dan kecil, lebih cocok dengan semangat menjadi garam dunia (bdk. Mt. 5: 13). Karena itu, akan tampak bahwa Gereja Katolik tidak akan mencari nama atau kedudukan. Kedua, upaya ini tidak bersifat aksidental atau sesekali saja, melainkan terus-berkelanjutan. Karena juga hasil nya tidak instant, Gereja Katolik tidak akan mendapatkan upah -nya segera. Pun, sangat diminimalkan kegiatan yang hanya bersifat event, sehingga tidak diperlukan ekspose. Bahkan, karena itu, tangan kiri -nya tidak perlu tahu apa yang diperbuat oleh tangan kanan -nya. Ketiga, Gereja Katolik juga tidak berhenti pada sekedar berkarya sosial-karitatif atau revolutif-politis, melainkan mau melakukan karya yang bersifat evolutif. Keempat, karya yang berproses panjang ini pun tak jarang dikatakan sebagai karya yang kurang efektif, karena hasilnya tidak segera ada.

 

 

 

6. Bagaimana dengan Kelompok Karismatik Katolik?

 

Setelah melihat kelima pokok gagasan di atas, setidaknya juga ada empat hal yang perlu diperhatikan oleh setiap persekutuan/komunitas karismatik Katolik. Yang pertama adalah keharusan adanya program sosial karena gerak keluar atau berbuah di tengah masyarakat adalah conditio sine qua non bagi setiap orang atau setiap komunitas Kristen. Tentu saja, program sosial ini bukan suatu program yang insidental atau sesekali saja, bahkan juga bukan hanya sekali setahun, atau dua kali setahun pada waktu Paskah dan Natal.

 

Kedua, sebaiknya program sosial itu yang tidak insidental itu punya kesinambungan, bukan sekedar kegiatan yang terpisah-pisah dan berbeda-beda. Program yang berkelanjutan ini akan lebih dirasakan manfaatnya oleh mereka yang kita layani, maka sebaiknya juga di suatu tempat atau lokasi yang tetap. Mungkin memang terasa membosankan, tetapi justru disinilah tantangannya agar pelayanan kita bisa menjadi makin baik. Hal ini tidak berarti bahwa suatu kegiatan aksidental tidak mendapatkan makna. Dalam kaitan dengan program umum, suatu kegiatan aksidental hanya dibuat untuk menjawab masalah yang mendesak, misalnya bencana alam.

 

Ketiga, kesinambungan itu bukan hanya kegiatannya saja, melainkan juga dengan rekan kerja kita. Artinya, dalam program yang berkesinambungan itu sebaiknya juga melibatkan kelompok lain dan elemen masyarakat setempat. Dengan bersinergi, buah yang kita harapkan pun bisa makin lebat.

 

Keempat, tidak kalah penting diperhatikan adalah kesinambungan program sosial persekutuan/komunitas karismatik dengan arah pastoral-sosial keuskupannya masing-masing. Dalam SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia) 2005 lalu, disepakati bahwa setiap keuskupan hendaknya memilih setidaknya satu dari tujuh-belas masalah sosial di Indonesia untuk ditindaklanjuti secara lebih nyata. Karena persekutuan/ komunitas karismatik adalah bagian dari Gereja Katolik, tentunya sudah seharusnya bahwa gerak persekutuan/komunitas karismatik menyesuaikan dan mendukung dinamika pastoral keuskupannya.

 

Lebih-kurang, keempat hal ini bisa menjadi tantangan dalam karya sosial gerakan karismatik Katolik di Indonesia, yang sebenarnya tidak sangat sulit untuk diwujudkan. Artinya, keempat tantangan itu di satu sisi hanyalah konsekuensi logis dari harapan untuk makin bernyala-nyala melayani Tuhan. Titik-tolak atau modal-dasarnya sudah ada, tinggal mengembangkannya. Di sisi lain, kita percaya bahwa Roh Kudus yang menyalakan cinta itu terus mendorong kita untuk makin baik dan makin baik, juga dalam pelayanan sosial. Harapannya, dengan itu pun kita bersama bergerak menanggapi panggilan Tuhan, Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna! (Mt 5:48).***

 
 
SUmber dari : Buku Konvenas XI di Bali, Semakin menyala-nyala, melayani Tuhan