Monday, March 04, 2013    
Logo BPN      
  Pembaruan Karismatik Katolik  
       
buku pengajaran ISAO LOGO Info Iman Katolik BPN PKK pusat informasi artikel iman sharing dan kesaksian tanya jawab berita dan kegiatan hubungi kami

    | Artikel Menarik | ROH KUDUS | TEOLOGI | SABDA TUHAN | SAKRAMEN | DOA | EVANGELISASI | ICCRS Newsletter | KONVENAS XII - Jakarta 2012 |

Cari:



Alkitab Online


Untuk hari ini belum ada !

 

BUKU-BUKU PENGAJARAN


Items
DIPACU OLEH ROH KUDUS

Pembaruan Karismatik Katolik telah menjadi karunia istimewa dari Roh Kudus kepada Gereja untuk membaruinya. Buku ini adalah panduan yang sangat berguna bagi setiap orang untuk memahami sifat asli dari Pembaruan Karismatik Katolik. Pada hari ini, tanggal 16 Oktober, hari peringatan Baptisan saya, dengan sangat bersukacita  saya merekomendasikan buku ini kepada para gembala umat dan para pemimpin Pembaruan agar supaya dapat membantu mereka di dalam membimbing gerakan itu pada arah yang benar di dalam keuskupan dan daerah mereka. ... [more info]



Items
PEDOMAN DASAR

Telah tersusun PEDOMAN DASAR dengan kepanitiaan yang diketuai oleh Romo Antonius Gunardi, MSF. Pedoman dasar ini telah diterima dan disahkan oleh KWI dalam Sidang tahunannya, November 2005.... [more info]



Items
VISI DAN MISI PEMBAHARUAN KARISMATIK KATOLIK di IN

Mengingat perkembangan Karismatik di Indonesia yang cukup pesat, tetapi tanggapan umat maupun pimpinan Gereja yang sering masih simpang-siur, maka dirasa semakin dibutuhkan bimbingan dan pengarahan dari pimpinan Gereja yang resmi, yang lebih jelas dan sesuai dengan iman Gereja. ... [more info]



Artikel Iman : TEOLOGI
KONTEKS HISTORIS / TEOLOGIS PENTAKOSTALISME (2)



17 Desember 2007

Proses Lahirnya Pentakostalisme Klasik

oleh Rm. Deshi Ramadhani, SJ

Pentakostalisme Klasik adalah hasil perkembangan Pentakostalisme mulai dari George Fox Parham sampai ketika pentakostalisme itu muncul di kalangan Gereja-gereja Presbiterian, Protestan, Katolik, yang disebut sebagai Neo Pentakostalisme atau Karismatik Awam.

bagian II

AMERICAN HOLINESS MOVEMENT

Ajaran Wesley dibawa ke negeri yang baru oleh gerakan metodis, bertemu dengan tanah yang sudah disuburkan oleh gerakan-gerakan kerohanian yang sangat keras. Ada kebangkitan rohani yang besar waktu itu: kesadaran sebagai Israel yang baru, membangun sebuah bangsa yang sungguh-sungguh murni, bersih. Negeri ini siap menerima ajaran Wesley yang mengutamakan kesempurnaan dan pengudusan total. Perkembangan gerakan model Wesley ini kemudian mewujud dalam bentuk baru sebagai American Holiness Movement yang dalam perkembangannya terlihat adanya dua sayap, yakni sayap Wesley yang sangat dipengaruhi Wesley dan sayap Reformasi yang masih sangat dekat dengan gerakan reformasi.


PROSES PENCARIAN

Dari bahan-bahan pembicaraan tadi kita lihat adanya proses pencarian. Dari pengalaman mereka yang berbeda-beda membuat mereka mencari terus. Cirinya adalah ada yang menerima dan ada yang tidak sehubungan dengan montanisme, entusiasme, illuminisme dan sebagainya. Atau orang menjadi sangat tergila-gila pada karisma-karisma Roh Kudus dengan berbagai macam eksesnya. Jadi ada perbedaan sikap apakah menerima atau tidak; menerima secara sehat atau berlebih-lebihan.

Dan yang juga mewarnai situasi di sana ketika itu adalah pencarian akan adanya kesempurnaan. Bukan hanya berusaha untuk menjadi orang saleh tapi benar-benar mencari kesempurnaan, mencari pengalaman pengudusan yang total. Karena proses itu menguasai hidup manusia maka harus punya metode yang memberi jaminan kepastian, sampai kapan kita harus berharap, sampai kapan kita harus percaya dan apa tanda pastinya. Ini situasi yang berkembang pada awal American Holiness Movement dalam perbedaan sayap Wesley dan sayap Reformasi.


PHOEBE PALMER

Pada sayap Wesley ada tokoh terkenal bernama Phoebe yang menikah dengan Walter Palmer dan mereka berkarya di New Yok City, mengembangkan American Holiness Movement yang lebih radikal. Apa yang dipahami menurut Wesley dinyatakan bahwa dalam hidup manusia harus ada satu momen yang pasti. Dalam diri John Wesley sendiri momen itu adalah ketika mengalami peristiwa di Aldersgate: Pada hari itu jam sekian saya punya pengalaman . Dari Phoebe Palmer inilah kemudian akan berkembang konsep altar theologi. Palmer menekankan bahwa Kesempurnaan Kristiani adalah sebuah pengalaman seketika. Tidak peduli berapa panjang waktu yang mendahuluinya atau intensitas pergulatan orang yang bersangkutan, ada satu saat di mana cinta yang tidak sempurna akan dijadikan sempurna. Artinya, teologi altar ini berusaha untuk menjadikan apa yang menurut Wesley merupakan perjuangan seumur hidup sebagai sebuah kenyataan dalam satu titik yang pasti dalam hidup manusia di dunia ini!


OBERLIN PERFECTIONISM

Sayap Reformed dikembangkan di Oberlin College, yang disebut sebagai Oberlin Perfectionism. Konsep pengudusannya tidak dikembangkan bagi individu saja tetapi juga bagi hidup komunal. Dalam perjalanannya akhirnya mengembangkan dimensi yang lebih sosial menjadi aktivis-aktivis pembaru masyarakat.

Tokoh-tokohnya adalah Charles Finney (1792-1876) dan Asa Mahan. Pada tahun 1821 Finney mengalami baptisan Roh Kudus.


DUA SAYAP

Wesleyan Perfectionism dan Oberlin Perfectionism berkembang dengan arah yang sedikit berbeda. Perbedaan itu terletak pada pemahaman akan pengalaman pertobatan itu sendiri.

Menurut sayap model Reformasi, teologi yang mereka kembangkan lebih cenderung memahami pengalaman dan proses pengudusan menyeluruh dalam kerangka relasi antara manusia dan yang ilahi. Maka sayap ini mengajarkan bahwa karena kuasa Roh Kudus seseorang bisa benar-benar berada dan diam di dalam Kristus dan sungguh terbebaskan dari kuasa dosa. Dengan kata lain, pertobatan terjadi dalam kerangka relasional. Model kesempurnaan Wesley yang dikembangkan dalam sayap yang lain mengajarkan hal yang sedikit berbeda. Yang menjadi pokok perhatian di sayap ini bukanlah terutama pengalaman relasional antara manusia dan Yesus atau Roh Kudus, melainkan fakta ada perubahan nyata dalam diri manusia itu sendiri. Secara substansial pengalaman pertobatan membuat perubahan nyata dalam kodrat manusia yang bersangkutan.


KESWICK SOLUTION

Sebuah tahap perkembangan baru terjadi di antara kedua sayap ini. Sebuah pertemuan di Keswick (akhir 1870-an) mencoba menjembatani perbedaan-perbedaan di antara kedua sayap yang ternyata semakin beragam dan kompleks. Di sini kembali perdebatan tentang rahmat muncul ke permukaan secara lebih jelas. Konsep pertobatan dalam kerangka relasional yang diajarkan di kalangan sayap model Reformasi disingkirkan. Konsep yang berkembang adalah tekanan pada kekudusan itu sendiri. Namun demikian, di titik ini pun terjadi perdebatan dalam mencoba merumuskan secara baru paham mereka tentang peran rahmat dalam kaitan dengan dosa manusia.

Rumusan yang diajukan Keswick mengajarkan bahwa kodrat yang berdosa tidak dicabut dari akarnya, melainkan dibuat tak berdaya. Ini terjadi ketika orang yang percaya memberi tempat bagi kuasa Roh Kudus. Ini berbeda dari ajaran atau keyakinan sayap Wesley yang sebelumnya masih mengajarkan adanya sebuah perubahan substansial dalam kodrat manusia.

Meskipun demikian, sayap Wesley masih menemukan tempatnya di sini, karena pada akhirnya semua yang diarah adalah adanya sebuah pengalaman perubahan hidup yang nyata. Dalam proses semacam ini perlahan-lahan terjadi pula sebuah gagasan lain yang menentukan bagi perkembangan Pentakostalisme klasik ketika saatnya tiba di kemudian hari. Pada titik ini peran kuasa Roh Kudus semakin mendapat perhatian dalam kaitan dengan pencarian kesempurnaan hidup kristiani.

Dua tokoh yang berpengaruh adalah William Arthur yang dikenal melalui karyanya, The Tongue of Fire (1856), dan William Boardman yang menuangkan keyakinannya dalam buku The Higher Christian Life (1858). Konsep tentang rahmat, tentang pertobatan, tentang pengalaman Roh Kudus dirumuskan dalam kaitan dengan keyakinan bahwa ada bahasa roh yang harus dicari dan itu menjadi tanda bahwa orang sudah masuk dalam tingkat hidup kristiani yang lebih dalam.


PARADIGM SHIFT

AKHIR ABAD 19

Berbagai cara pandang dan penekanan yang berbeda-beda atas konsep pengalaman pertobatan menimbulkan adanya perubahan paradigma di dalam tubuh American Holiness Movement sendiri. Perubahan pertama adalah pergeserran dari konsep kesempurnaan kristiani dalam kerangka soterioligis ke kerangka pneumatologis. Sebelumnya pengalaman pertobatan dan pengudusan ditempatkan dalam dalam karya keselamatan yang dilakukan Kristus di atas kayu salib. Keselamatan manusia yang percaya adalah keikutsertaan dalam keselamatan yang telah dikerjakan sekali untuk selamanya oleh Kristus untuk semua manusia. Maka pada titik ini fokus perhatian adalah pada karya Kristus sebagai Sang Penyelamat. Konsep ini bergeser ketika pertobatan dipahami sebagai pengalaman manusia akan karya Roh Kudus yang penuh kuasa.

Pergeseran paradigma yang kedua berkaitan dengan pemahaman tentang akhir jaman atau kedatangan Kristus kedua kalinya. Bila sebelumnya dipahami bahwa kedatangan Kristus akan terjadi sesudah masa penantian yang sangat panjang, masa seribu tahun (pasca-millenialisme), sekarang paham ini bergeser karena dipahami bahwa Kristus akan datang sebelum masa panjang tersebut (pra-millenialisme).

Dalam proses itu propaganda akan karisma Roh Kudus khususnya dalam bentuk penyembuhan-penyembuhan juga semakin gencar dilakukan.

Konsep tentang peran Roh Kudus yang lebih spesifik dalam kaitannya dengan pengalaman baptisan dalam Roh juga semakin dikembangkan. Demikianlah pada masa menjelang akhir abad 19 sudah bisa dibedakan tiga bentuk pemahaman dalam hal ini. Pertama, posisi berdasarkan model kesempurnaan Wesley. Dalam pemahaman atau lebih tepatnya pencarian akan pengalaman pengudusan menyeluruh atau cinta sempurna, orang sampai pada keyakinan bahwa momen baptisan dalam Roh adalah berkat kedua yang berbeda dari pengalaman baptisan dengan air. Kedua, posisi model Keswick memahami bahwa baptisan Roh Kudus adalah momen di mana seseorang itu diberi kuasa atau kemampuan istimewa untuk memberikan diri dalam pelayanan atau penyebaran Injil. Ketiga, posisi tersendiri yang mengajarkan tentang adanya berkat ketiga. Posisi ini menangkap bahwa baptisan Roh Kudus adalah berkat kedua (sebagaimana diikuti juga oleh model Wesley), namun itu belumlah cukup. Diperlukan berkat ketiga yakni baptisan api. Yang dimaksud adalah karunia bahasa Roh. Suasana pencarian akan kesempurnaan sangat diwarnai oleh keyakinan bahwa kesempurnaan hanya akan terjadi karena pengalaman akan baptisan Roh Kudus. Situasi semacam ini pula yang terjadi di Topeka, Texas.

Dalam situasi penginjilan Pentakostalisme seperti dibicarakan di atas itu akan lahir Pentakostalisme Klasik dalam proses selanjutnya.


CHARLES FOX PARHAM (1873-1929): Topeka, Texas

Charles Fox Parham dilahirkan di Muscatine, Iowa pada tanggal 4 Juni 1873 sebagai anak ketiga dari lima orang anak laki-laki. Semula ia adalah seorang pengkotbah independen di Kansas, tetapi kemudian pada tahun 1895 mengundurkan diri dari pelayannya di sebuah Gereja Metodis di sana. Ia sempat menderita sakit rematik yang serius, tetapi kemudian disembuhkan secara ajaib pada tahun 1898. Setelah pengalaman itu ia sendiri kemudian mulai pelayanan penyembuhannya di Topeka, Texas.

Ia mendirikan sebuah sekolah di Topeka (Bethel Bible School) pada tanggal 15 Oktober 1900. Sekolah itu dikenal pula sebagai STONE S FOLLY. Pada tanggal 26 Desember 1900 Parham mulai mengajarkan tentang Roh Kudus dan menantang para muridnya untuk mempelajari Kisah Para Rasul bab 1 sampai dengan 4 untuk mencari jawab atas pertanyaan: Kalau kita mengalami Roh Kudus, apa tandanya yang pasti? Sesudah itu pada tanggal 29 Desember 1900 Parham harus pergi ke Kansas City. Ketika ia kembali pada tanggal 31 Desember 1900 ternyata semua muridnya sudah yakin bahwa tanda itu adalah bahasa Roh.

Ketika mereka berkumpul dalam doa dan puasa sepanjang malam, seorang bernama AGNES OZMAN minta didoakan oleh Parham dan setelah didoakan ia berbicara dalam suatu bahasa yang terdengar seperti bahasa mandarin. Beberapa hari kemudian Parham juga mengalami berbicara dalam bahasa Roh yang terdengar seperti bahasa Swedia. Peristiwa itu begitu menghebohkan sehingga media massa dan para ahli (bahasa, psikolog, dll.) berdatangan untuk menyelidiki fenomena bahasa Roh. Hasil penelitian para ahli itu dipublikasikan.

Namun sayangnya Parham berakhir tragis, ia bankrut; bahkan menjelang akhir kariernya ada skandal. Akibatnya dikalangan orang pentakostalis sendiri Parham tidak begitu diingat. Baru pada tahun 1959, yaitu lebih dari 50 tahun kemudian ia diingat dan mulai diakui sebagai pendiri pentakostalisme klasik.

Di kalangan Pentakostal Parham dipandang sebagai tokoh yang berhasil menjembatani tegangan atau perpecahan antara Kesempurnaan model Wesley dan Kesempurnaan model Keswick. Dengan berakar pada tradisi Metodisme sendiri, Parham mengembangkan konsep teologinya seturut garis pemahaman akan kekudusan yang ditandai secara jelas dengan berkat ketiga . Parham juga mengikuti konsep keyakinan teologis akan kedatangan Kristus yang kedua yang sudah sangat mendesak. Bagi perkembangan Pentakostalisme sendiri Parham memperkenalkan pentingnya peran glossolalia bagi pelayanan penginjilan di jaman akhir itu.


WILLIAM JOSEPH SEYMOR (1870-1922)

William Joseph Seymor adalah salah satu murid Parham. Ia seorang Black American. Orangtuanya bekas budak. Hal ini penting untuk diingat sebagai pemahaman pentakostalisme berikutnya.

Setelah menjadi murid Parham di Topeka, ia mencoba berkarier di Los Angeles namun tidak berhasil. Setelah berpindah-tempat tinggal akhirnya ditampung oleh Edward Lee, seorang petugas kebersihan sebuah bank setempat. Pada suatu hari Lee merasa mendapat penglihatan Paulus dan Yohanes dan setelah itu mulai berbahasa Roh. Pengalaman Lee ini meyakinkan banyak orang bahwa apa yang dikotbahkan Seymor tidak bohong. Bahwa ada karunia yang disebut sebagai bahasa Roh yang bahkan bisa menyembuhkan fisik.

Karena pengajaran itu begitu berkembang, mereka lalu membeli gedung tua bekas African Methodist Episcopal Chrurch di 312 AZUSA STREET dan membuat tempat itu sebagai markas pusat untuk melakukan kebaktian dan kegiatannya.

Ada laporan dari seorang wartawan yang menghadiri kebaktian di sana yang mengatakan bahwa malam itu ia merasa sangat takut karena melihat sebuah ritual yang tidak biasa. Ada yang berteriak-teriak histeris, ada yang menggerak-gerakkan tubuh mereka ke depan ke belakang dengan sebuah sikap yang memegangkan sambil berdoa dan memohon dan berlangsung berjam-jam lamanya.

Tetapi sehari sesudah mereka berdoa, di San Fransisco terjadi gempa besar. Banyak orang mati dan banyak yang kehilangan tempat tinggal. Setelah gempa bumi itu, di kota itu diadakan doa-doa dan kotbah-kotbah untuk pertobatan.

Buat orang di Azusa Street gempa bumi itu dibaca sebagai konfirmasi tanda kebenaran yang mereka wartakan. Mereka semkin diyakinkan bahwa bahasa Roh adalah karunia Allah bagi jemaat di saat yang mendekati akhir jaman.

Begitulah gerakan dari Azusa Street meluap tak terbendung.


TIM PELAYANAN SEYMOR

Yang penting untuk kita sekarang adalah melihat 2 model. 1) Model Parham yaitu White Pentakostalism dan 2) Model Seymor yaitu Black Pentakostalism. Parham belajar dari pengalamannya di Topeka, menjadi lebih berhati-hati dan mencoba mengendalikan adanya ungkapan-ungkapan yang melibatkan emosi. Sebaliknya Seymor sangat spontan, sangat bebas, sangat menekankan emosi, sangat alive karena sebenarnya memiliki akar pada gabungan antara black spirituality dan pengalaman Pentakostal. Oleh karena itu dalam usaha memahami Pentakostalisme Klasik perlu dibuat sebuah pembedaan antara White Pentacostalism dan Black Pentakostalism. Di kalangan pentakostalis sendiri masih banyak yang belum menerima bahwa mereka sangat dipengaruhi black spirituality, sehingga ritual mereka tanpa struktur karena menurut mereka Roh harus diberi kebebasan. Sayangnya Parham yang mengajarkan pentakostalisme yang lebih terkendali mengalami skandal sehingga menyebabkan ajarannya terhambat, sedangkan ajaran Seymor menjadi populer.

Maka, bisakah diperkirakan bahwa yang sampai di Indonesia adalah model Azusa Street?

(bersambung)

 

sumber dari Majalah Warta Shekinah Edisi September - Oktober 2007

 

 

Kirimkan PERTANYAAN Anda Mengenai Artikel Ini !




    Informasi lain mengenai : TEOLOGI :
  • MASA ADVEN DALAM KEHIDUPAN GEREJA
    Saatnya hampir tiba bagi Gereja semesta memasuki sebuah masa penantian bernuansa harapan. Masa itu dikenal dengan nama Adven yang sudah lazim dijalani dalam rentang waktu kehidupan gereja semesta dan menjaman. Masa yang bernuansa harapan ini begitu bergema dalam kehidupan manusia kristen dalam berbagai jenjang usia. Sebuah kenangan yang tak dapat dengan gampang dilepas bebas dari pengalaman Kakek dan Nenek juga Bapak dan Mama. [lebih lengkap ...]

  • Konteks historis/teologis pentakostalisme (1)
    Pada Modernas III Rm. Deshi mengetengahkan tentang pentakostalisme dan bagaimana terjadinya Pembaruan Karismatik Katolik. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan bagi para moderator sebagai pendamping PKK di Keuskupan dan Paroki. [lebih lengkap ...]

  • Konteks Historis/Teologis Pentakostalism (3 - End)
    Ada orang yang bernama David Wilkerson, seorang pendeta Pentakostal yang berkhotbah di kota New York, distrik Bedford-Stuyvesant, di kalangan para pemakai dan pengedar narkoba, para preman anggota-anggota gang dan penjahat-penjahat. Ia menulis sebuah buku “The Cross and the Switchblade”, yang berkisah tentang pengalaman-pengalamannya dan pertobatan-pertobatan luar biasa para gangster itu dan tentang Roh Kudus. Tanpa disadari buku itu menjadi buku  publikasi yang paling populer tentang Pentakostalisme, buku yang paling terkenal dan paling meyakinkan tentang Baptisan Roh Kudus dan karunia-karuniaNya. Buku inilah yang nantinya sangat menentukan bagi Pembaruan Karismatik Katolik. [lebih lengkap ...]

  • M A R I A B I N T A N G E V A N G E L I S A S I
    Dalam buku “Misi Evangelisasi” (2003) yang dipakai sebagai buku pegangan dalam Sekolah Evangelisasi Pribadi (SEP) di Shekinah, Duta Merlin, Jakarta dan dalam Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) yang diadakan di paroki-paroki KAJ , tidak diketemukan judul atau sub-judul yang secara singkat menguraikan atau menyinggung peran Maria sebagai Bintang Evangelisasi. Tercatat dalam buku “Misi Evangelisasi” itu sebagai sumbernya ialah buku Mission: Evangelization” A Course to Train Evangelist , 1985, oleh Rev. Robert Deshaies – Chet Stokloza – Susan W. Blum. Dalam buku lama oleh kedua pengarang yang sama, -minus Susan W. Blum-, yang berjudul  “On Becoming An Evangelist” (1984), terdapat tulisan singkat tentang “The Role of Mary In Evangelization” (hal. 20). [lebih lengkap ...]

  • PUASA
    Hidup kita sebagai orang kristiani ialah meneladan Yesus, yang berpuasa 40 hari/malam dan mengalahkan godaan, sebelum Yesus tampil berkarya mewartakan Kerajaan Allah (Mat 4:2). Yesus sendiri tidak mengharuskan para murid-Nya berpuasa, hal yang diprotes keras oleh golongan Farisi (Mat 9:14). Tetapi kalau para muridNya mau berpuasa Yesus memberikan ajaran tentang sikap dan caranya – bukan untuk pamer  ( Mat 6: 16-18). [lebih lengkap ...]

  • Purgatorium
    Ya kami sadari umat Kristen non-katolik umumnya tidak mempercayai keberadaannya.  Dalam sitilah bahasa Latin disebut “Purgatorium” yang berarti tempat membersihkan, menyucikan, memurnikan ! [lebih lengkap ...]

  • Discernment of Spirits
    The word spirit refers to two different types of motivating powers. The spirit of an individual refers to the internal inclination to good or evil, and it manifests itself with such regularity that it must be considered a personal trait. But it is also possible for an individual to come under the influence of a spirit that is extrinsic to the personality, whether from God of the devil. Hence it is the function of discernment of spirits to judge whether a given act or repetition of acts flows from the Holy Spirit, the diabolical spirit, or the human spirit.   [lebih lengkap ...]

     
Copyright © 2007 Pembaruan Karismatik Katolik. All rights reserved.