Pertama-tama, mewakili para uskup di seluruh Indonesia, saya ingin mengucapkan selamat kepada Bapak/Ibu yang telah dipilih menjadi bagian dalam Badan Pelayanan Nasional Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia (BPN PKK Indonesia). Tentu saja, terimakasih atas kerelaan Bapak/Ibu mengemban tugas perutusan ini. Saya bisa membayangkan, untuk melaksanakan tugas seperti ini pasti diperlukan kerelaan untuk berkorban, ini dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan hanya Bapak/Ibu yang berkorban, tetapi juga keluarga ikut merasakan beban tanggung jawab sebagai bagian dari BPN. Untuk itu sekali lagi, saya ingin mengucapkan selamat dan terimakasih juga kepada keluarga-keluarga yang selalu mendukung pelayanan Bapak/Ibu.
Sebetulnya saya merasa tidak usah bicara apa-apa lagi, namun bolehlah saya membagikan apa yang saya renungkan ketika membaca kutipan-kutipan bacaan Kitab Suci pada hari ini.
Kedua bacaan yang kita dengar, dapat kita baca dari kacamata tema Misa pagi ini, “Diutus untuk Membagikan Rahmat Pembaruan”. Kitab Wahyu yang kita dengarkan tadi, bila hanya dibaca sepotong, isinya ‘mengerikan’. Karena bahasanya dengan bahasa khusus, apokaliptik, yang sama sekali asing. Tetapi bila kita baca secara keseluruhan, pesan itupun membawa pesan ‘pembaruan’.
Kalau kita membaca Kitab Wahyu, sesudah pendahuluan yang susah dimengerti itu, lalu maju ke Bab 5, diceritakan mengenai “Seorang yang duduk di Tahta”. Ditangannya ada gulungan kitab yang bermaterai tujuh. Saya kira, kita semua bisa menangkap apa yang dimaksudkan; adalah Allah Bapa yang duduk di dalam tahta Kerajaan Surga, mempunyai rencana.
Rencana itu masih tertutup dengan tujuh materai. Itulah rencana keselamatan. Lalu ditanyakan, siapa yang bisa membuka kitab dengan materai tujuh itu? Datanglah Anak Domba, dari Suku Yehuda yang kemudian diserahi gulungan kitab yang bermaterai tujuh itu. Kita tahu siapa yang dimaksudkan, tentu Yesus Kristus, yang melaksanakan rencana keselamatan.
Ketika kitab bermaterai tujuh itu dibuka, muncullah tujuh sangkakala. Ketika sangkakala yang ketujuh ditiup, tampaklah tujuh cawan, -- cawan penderitaan. Ketika tujuh cawan itu dicurahkan satu persatu dan sampai pada cawan yang ketujuh, dikatakan “sudah terjadi”. Artinya, rencana keselamatan Allah yang bermaterai tujuh yang dibuka oleh Yesus menjadi terlaksana.
Kemudian masih banyak cerita-cerita lain yang susah dipahami juga, tetapi akhirnya turunlah Yerusalem baru dari langit. Yang mau dikatakan yaitu jelas, Allah Bapa mempunyai rencana keselamatan, yang dilaksanakan oleh Yesus meskipun dunia sekarang ini tidak seperti yang diharapkan. Kebohongan lebih disenangi daripada kejujuran, kejahatan lebih menang dari pada kebaikan, tetapi akhirnya turunlah Yerusalem baru dari atas. Yang dimaksudkan adalah pembaruan hidup manusia itu bukan hasil dari usaha manusia saja, tetapi pembaruan itu adalah rahmat Allah. Maka sangat pas dengan tema yang saya terima, “Diutus untuk Membagikan Rahmat Pembaruan”.
Pembaruan bukan dari kita, tetapi dari Tuhan sendiri yang menggunakan kita untuk membagikan rahmat pembaruan itu. Demikian juga Injil dapat kita baca dari sudut pandang pembaruan. Mulai dari Orang Saduki yang mempunyai pikiran berdasarkan hukum levirate namanya. Seperti tadi kita baca, ada seorang suami meninggal, ia memiliki saudara, saudaranya satu persatu harus mengambil istri kakaknya itu menjadi istrinya.
Dijelaskan oleh Yesus, dan akhirnya dikatakan pada akhir Injil, “…mendengar itu beberapa Ahli Taurat berkata: Guru jawabmu itu tepat sekali.” Maka mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus. Saat itu, Yesus memperbarui cara pandang mereka. Apakah berhasil atau tidak? Rupanya tidak, tetapi yang ditawarkan adalah rahmat pembaruan, supaya pikiran Orang Saduki itu berubah, tidak berpegang pada hukum levirate, tetapi pada paham-paham baru mengenai Allah, mengenai kebangkitan dan seterusnya. Saya katakan Yesus tidak berhasil, karena akhirnya Orang-orang Saduki itulah yang akhirnya menuntut kematian Yesus.
Saudara/i yang terkasih, adakah seseorang yang bisa kita lihat sebagai pembawa rahmat pembaruan? Adakah di sini? Bisakah kita belajar dari seseorang yang diakui oleh Gereja, oleh dunia, sebagai seorang pembaharu yang pengaruh pembaruannya diakui bagi Gereja dan dunia? Ada? Dan kita punya itu; Yesus.
Tetapi, Paus Fransiskus juga dipandang oleh dunia sebagai seorang pembaharu yang pengaruhnya sangat luas, tidak hanya di dalam Gereja tetapi di dunia. Mengapa saya katakan demikian? Pada tahun 2013, bulan Desember, Majalah Time, menerbitkan foto Paus Fransiskus sebagai Man of The Year. Beliau diangkat menjadi Paus pada Maret tahun 2013. Bulan Desember, beliau sudah dinobatkan menjadi Person of The Year oleh Majalah Time, waktu yang sangat singkat.
Kemudian pada awal tahun 2014, Majalah Fortune, majalah internasional yang juga terkenal, mendaftar 50 nama orang-orang dari berbagai macam latar belakang, sebagai 50 orang paling berpengaruh di dunia, dan nomor satu adalah Paus Fransiskus. Bukan seorang politikus, bukan Presiden Amerika, bukan seorang Businessman yang sangat terkenal, namun adalah seorang Pemimpin Gereja Katolik.
Angela Merkel, dalam daftar itu berada di nomor dua. Kita tahu bahwa Angela Merkel itu seorang Kanselir Jerman, pengaruhnya sangat besar, tapi ada di nomor dua. Lalu, nomor 37, namanya Jokowi. Waktu itu beliau masih menjadi Gubernur, belum menjadi Presiden.
Maka, pertanyaannya adalah apa yang membuat Paus Fransiskus, dirasakan tidak hanya oleh Gereja, tapi juga dunia, sebagai seorang pembawa rahmat pembaruan bagi Gereja dan dunia? Kalau diceritakan panjang sekali, tetapi saya melihatnya begini; ada tiga fase, yang bisa dibeda-bedakan.
Fase Pertama
Paus Fransiskus, waktu itu namanya masih Bergoglio, pada usia 17 tahun, mempunyai pengalaman yang amat sangat mendasar. Pengalaman akan Allah. Pengalaman itu ia miliki ketika ia mendengar kotbah, dibacakan dari kotbah Santo Beda. Kotbah ini mengomentari panggilan Levi, pemungut cukai yang menjadi murid Yesus. Ketika itu, Yesus memandang orang itu dengan mata yang berbelas kasih dan penuh kerahiman. Maka jangan heran kalau pengalaman dasar itu membuat ia mengambil keputusan pada usia 17 tahun untuk menjadi anggota Serikat Yesus. Pengalaman dasar yang dijadikan landasan untuk mengambil keputusan.
Fase Kedua
Perjalanan panjang, sebagai buah dari pengalaman dasar itu adalah transformasi pribadi, pembaruan pribadi, yang amat sangat jelas ketika beliau menjadi Paus.
Transformasi pribadi itu pengaruhnya besar bagi pandangan-pandangannya. Misalnya, ajaran Gereja Katolik, kalau ditanya Gereja itu apa, dokumen gereja resmi mengatakan Gereja adalah persekutuan murid-murid Yesus. Itu ajaran resmi Gereja. Tetapi kalau ditanyakan kepada Paus Fransiskus, apa itu Gereja bagi anda? Dalam dokumen-dokumen yang ia tulis, Gereja itu bagi beliau adalah seperti rumah sakit di medan perang. Artinya, Gereja mesti merawat umat manusia yang terluka di dalam perjalanan sejarah. Pandangannya tidak ada dalam ajaran resmi Gereja. Tapi itulah pandangan baru yang muncul berkat pengalaman dasar itu, ada transformasi pribadi yang berpengaruh pada pandangan-pandangannya.
Kalau kita bertanya, Tuhan Allah itu siapa? Jawabannya banyak: Maha Kasih, Maha Kuasa, Maha Tahu, dst. Tapi jika pertanyaan itu ditanyakan kepada Paus, jawabannya yang paling penting, kembali kepada pengalaman dasarnya, Allah itu adalah Allah yang Maha Rahim. Itulah sebabnya pula, beliau pada tahun 2016 memaklumkan Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Ilahi, karena dia ingin menularkan pengalaman pribadinya itu bagi seluruh Gereja.
Mengapa harus Tahun Suci Luar Biasa? Karena yang biasa itu, baru nanti pada tahun 2025. Dan Paus mengatakan, “Saya tidak tahu lagi pada tahun 2025 saya ada dimana?” Maka karena ingin menularkan pengalaman akan Allah yang Maha Rahim kepada murid-murid Kristus, diadakanlah Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Ilahi.
Kalau kita bertanya, Ekaristi itu apa? Banyak cerita, beliau merumuskan yang menjadi pertentangan yang dahsyat di dalam Gereja. Beliau mengatakan, Ekaristi bukanlah hadiah bagi orang yang menang pertandingan, tetapi adalah obat bagi orang-orang yang terluka di dalam hidup di dunia ini. Hal ini menjadi pertentangan yang sangat besar sekali. Ini karena transformasi pribadi.
Fase Ketiga
Buah dari transformasi pribadi itu ialah transformasi institusi di dalam Gereja. Institusi Kepausan, sampai beberapa waktu yang lalu, itu menjadi institusi yang keramat. Rumah Paus namanya Istana Kepausan. Di Indonesia juga masih ada yang namanya Istana Presiden. Institusi yang jauh dari umat. Apa yang beliau lakukan? Beliau tidak mau tinggal di istana tersebut, tetapi tinggal bersama-sama dengan pejabat-pejabat di Vatikan, di Hotel Santa Marta. Kamarnya sederhana, pembantu-pembantunya banyak yang mempunyai kamar yang jauh lebih besar daripada beliau, bahkan ada satu Kardinal yang kamarnya luasnya 500m2. Kamar Paus hanya 50m2. Ini diceritakan dalam sebuah majalah.
Paus ingin menunjukan, bukan hanya soal tempat tinggal, tetapi Institusi Kepausan bukanlah institusi kekuasaan, tetapi institusi pelayanan. Membutuhkan cara berfikir yang sangat dahsyat yang tidak mungkin terjadi, kalau tidak ada pengalaman tadi, tidak ada transformasi batin sebelumnya.
Ceritanya bisa panjang, tetapi saya rasa cukup untuk menjadi cakrawala, permenungan kita, kalau kita ingin sungguh-sungguh diutus untuk mewartakan, untuk membagikan rahmat pembaruan. Kita mempunyai teladan yang sangat jelas, Paus Fransiskus, dan kita perlu terus saling mendoakan dan berdoa agar pengalaman dasar kita akan Allah memperbarui terus menerus pandangan-pandangan kita dan tentu saja menjadikan semua yang kita lakukan, sekecil atau sebesar apapun judulnya adalah pelayanan. ***
Share with :
Anda mempunyai pertanyaan / komentar / saran mengenai BPN PKK, silahkan email kami ke INFO@KARISMATIKKATOLIK.ORG
kami akan segera merespon pertanyaan / komentar / saran Anda secepatnya. IG: @KARISMATIKKATOLIK YOUTUBE: KARISMATIK KATOLIK INDONESIA
Copyright © 2007-2024 Badan Pelayanan Nasional, Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia (BPK PKK).
versi archive 2007 link : WWW.KARISMATIKKATOLIK.ORG/ARCHIVED/