Share Media :

in spiritu domini karisma melayani dalam roh

“Kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: ...Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani...” (Rom 12:6-7). Dan pelayanan itu harus dilakukan dengan ihklas, rajin dan sukacita (bdk. Rom  12:7-8). Demikianlah tulisan St. Paulus kepada umat di kota Roma. Pelayanan itu dilakukan dalam kuat kuasa Roh Kudus, Roh Yesus. Yesus mengutus murid-muridNya untuk meneruskan karya penyelamatanNya dan Ia juga membekali mereka dengan latihan dan urapan Roh, sama seperti Dia sendiri diutus dan diurapi oleh Roh Allah (Yoh 20:21-23).

Yesus diutus untuk membangun Kerajaan Allah di dunia, yaitu Kerajaan damai dan kasih Allah. Kerajaan Allah yang dibangun merupakan kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah dan kemuliaan manusia dicapai dengan cara yang berbeda. Manusia duniawi mencari kemuliaan dan kebesaran dalam segi-segi yang materiil, lahiriah, terbatas, dan dangkal. Manusia bangga jika dapat membangun proyek-proyek yang hebat, meraih prestasi yang spektakuler, mengembangkan bakat-bakat manusiawi, mencapai ketenaran dan kemasyuran, atau memperoleh kuasa dalam pemerintahan dan organisasi yang global. Sedangkan kemuliaan Tuhan dicapai dalam bentuk serta cara hidup dan karya pelayanan seorang Hamba. Tuhan memanggil manusia menjadi hamba Tuhan, yang mau mengabdi kepada Tuhan dengan rendah hati, dengan mengorbankan seluruh dirinya secara total, seperti yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Yesus Sang Almasih. “Aku tidak datang untuk dilayani, tetapi untuk melayani, dengan menyerahkan nyawaKu” (bdk. Yes 49; 50; Mat 20:26-28).

Sikap dan semangat rendah hati sebagai hamba Tuhan ini harus diterima, dihayati, dan dilatih oleh murid-murid Yesus. Baru setelah mereka mengalami pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, kelihatan bahwa mereka telah menerima karunia kerendahan hati untuk menjadi hamba Tuhan seperti Yesus, dan berani mempertaruhkan nyawa mereka demi membangun kemuliaan dan kebesaran Kerajaan Allah di masyarakat zaman itu. Kerendahan hati sebagai hamba Tuhan diungkapkan oleh St. Paulus dengan memakai kata “doulos”, yang berarti budak. Sama sikapnya seperti waktu Yesus melepaskan pakaian jubahNya dan memakai kain lenan seorang budak, ketika Ia membasuh kaki para rasulNya (Yoh 13).

Karisma perbuatan belas kasih (Rom 12:8)   

Dalam renungan ke-21, kita sudah merenungkan tentang belas kasih dan kemurahan Allah. Roh Kudus memberikan kepada umatNya buah belas kasih dan kemurahan, supaya umat juga berbelas kasih dan murah hati terhadap sesama, terutama kepada mereka yang lemah dan kurang berdaya untuk ikut mengalami kesejahteraan yang disediakan Tuhan kepada seluruh umatNya. Karena Allah bersabda: “Aku menghendaki belas kasihan, dan bukan persembahan” (Mat 9:13; 12:7). Tuhan Yesus mengajarkan demikian dan Ia juga melakukannNya. Maka murid-murid Yesus sejak Gereja Perdana melakukan yang sama. “Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis 2:44-45; 4:32).

Terdapat banyak perbuatan berbelas kasih yang dapat ditelusuri. Misalnya, menolong orang yang miskin dalam hal kebutuhan pokok, sandang pangan dan papan; menolong gelandangan dan pemulung, para pengungsi, penyakit lepra, pengidap HIV/AIDS, gangguan jiwa, cacat fisik; orang sakit dan lansia, korban perang dan bencana alam, kelompok masyarakat marginal. Orang-orang ini ditolong oleh para anggota umat yang digerakkan oleh belas kasih Ilahi, didorong oleh Roh Kudus, sesuai perkataan Yesus: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk orang yang paling hina, itu kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:31-46).

Perhatian penuh belas kasih Ilahi terhadap manusia yang menderita selalu menjadi ciri khas dari umat sepanjang sejarah. Tetapi ada kalanya, perjuangan ini dilawan oleh penguasa politik, sehingga ada santo-santa yang menjadi martir. Mereka dibunuh karena melakukan karya-karya belas kasihan kepada sesama manusia yang miskin dan menderita. Martir-martir untuk perbuatan-perbuatan belas kasih Ilahi kepada orang yang miskin dan lemah selalu ada sejak zaman dulu sampai zaman modern ini.

Banyak tokoh masyarakat yang unggul dalam melakukan perbuatan belas kasih, yaitu: para santo dan santa dari masa lampau, Suster Teresa dari Kalkuta yang menyediakan belas kasihan kepada puluhan ribu orang sakit dan tua di pinggir jalan sebelum mereka meninggal; Bapak Jean Vanier yang menampung orang-orang yang cacat total dan merawat mereka dengan belas kasih Tuhan. Selain tokoh-tokoh itu, juga sudah dikembangkan karya sosial untuk menolong orang miskin dan lemah, misalnya lembaga-lembaga resmi dan teratur, seperti rumah sakit, klinik, panti asuhan, sekolah untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, dan lain-lain. Bahkan karya belas kasih yang mulai dirintis oleh biarawan dan biarawati sekarang telah menjadi lembaga-lembaga resmi dari negara. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan belas kasih sudah semakin berkembang dan menjadi proyek dari departemen sosial. Manusia lemah yang dulu hanya dilayani karena belas kasih dari Tuhan yang disampaikan secara personal, sekarang telah dijamin oleh negara. Pelayanan sosial secara resmi dalam tata hidup di masyarakat dilakukan dengan prinsip yang sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Pelayanan sekarang dilakukan dengan lebih ilmiah, efektif dan efisien, disiplin dan terkontrol, transparan dan bertanggung-jawab. Segi-segi pelayanan seperti ini sangat menguntungkan bagi mereka yang menerimanya.

Namun, prosedur dengan segi pelayanan tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus. Suara kritik yang muncul pada zaman sekarang ialah bahwa karena para pekerja sosial didesak untuk bekerja dengan efektif dan efisien serta berkualitas tinggi, maka semangat belas kasih yang menjadi sumber buah Roh Kudus telah berkurang. Semua pelayanan sosial dilakukan menurut standard manusiawi, tetapi melupakan sumber belas kasih, yaitu cinta Tuhan, yang menjadi inti dan awal dari pelayanan itu sendiri. Marilah kita berdoa agar semua orang yang bekerja dan melayani dalam lembaga-lembaga sosial, mau melakukan pelayanannya sebagai perbuatan-perbuatan yang penuh belas kasih Tuhan.

Karisma Memberikan Derma (Rom 12:8)

Kata derma dalam bahasa kitab suci diungkapkan dengan kata “sedekah”, “sedaqa”, artinya “keadilan”. Menurut paham umat Israel, Allah akan memenuhi kecukupan setiap individu. Begitu besar kemurahan dan belas kasih Allah, sehingga tidak boleh ada manusia yang kekurangan. Maka doa kita berbunyi: “Kyrie eleison”, Tuhan kasihanilah kami. Kata Yunani “eleemosyne” berarti belas-kasihan, menjadi kata alms/aalmoes (Luk6:36, 38).

Memberikan derma merupakan salah satu dari tiga hal pokok dalam praktek agama Yahudi (doa, puasa dan derma). Setiap orang yang memberikan derma/sedekah tanpa pamrih (pamrih, misalnya dilakukan supaya dilihat dan dipuji orang; money laundering, atau menghindari pajak), berkenan kepada Allah (Ul 15:7-11; Ams. 25:21; Yes 58:7-11; Mat 5:42; 6:2-4; Luk 12:33) dan memperoleh pengampunan dosa. Sebab “Tuhan mencintai orang yang memberikan dengan sukacita” (2 Kor 9:6-15; Ibr  13:16). Memberikan derma memang merupakan suatu “kultus”, ibadah, kepada Allah yang menguduskan. Kata Yesus: “Kamu ...membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu itu penuh rampasan dan kejahatan... berikanlah isinya (dari panci-panci) sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu”( Luk 11:41).

Yesus memuji pemberian sedekah ini, waktu Ia melihat seorang janda memberikan sedekah (Mrk 12:41-44). Janda itu memberikan seluruh nafkahnya sehari sebagai sedekah, sedangkan orang-orang kaya tidak merasa sakit “kekurangan” sedikitpun, walaupun mereka memberikan derma yang lebih besar. Bunda Theresa merumuskan hal yang sama dengan mengatakan “Give until it hurts”, “Berikanlah sampai merasa sakit .” Persoalannya di sini bukanlah terletak pada apa yang diberikan sebagai sedekah, tetapi pada apa yang tidak diberikan, apa yang dimiliki dan disimpan serta ditahan terus untuk diri sendiri dan tidak diberikan untuk kepentingan bersama. Yesus sendiri juga memberikan sedekah kepada orang miskin (Yoh 13:29). Ia juga melatih murid-muridNya untuk memberikan sedekah (Luk 12: 33). 

Gereja Perdana dari awal berusaha mengatur pembagian barang-barang kebutuhan bagi orang miskin (Kis 4:32; 5:1-11; 6:1-6; Gal 6:10; 2 Ptr 1:7; Yak 2:14-17), dan semua hal itu dilakukan dalam kasih sesuai dengan dorongan Roh Kudus, Roh Yesus. Santo Paulus mengadakan pengumpulan sedekah bagi orang-orang miskin di Yerusalem, dan menyerahkannya sendiri jika ia memiliki waktu (Kis 11:29-30; 24:17; Rom  5:1; 15:28; 1 Kor 16:1).

Di zaman sekarang ini, dengan perkembangan kementerian sosial dalam pemerintahan, pertolongan kepada kaum miskin menjadi tugas resmi negara. Namun pada kenyataannya kemiskinan tetap ada di mana-mana. Ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila hanya memberikan derma, maka hal itu tidak sungguh-sungguh menolong kaum miskin. Dalam kondisi tersebut, kaum miskin akan semakin tergantung dan karenanya tidak dapat mandiri. Lebih jauh lagi, pertolongan tersebut dapat semakin meneruskan dan melanggengkan statusnya sebagai orang miskin. Untuk itu, sebaiknya kaum miskin ditolong secara stuktural. Misalnya, dengan memberikan pendidikan yang berfungsi sebagai “kail”, yaitu sarana/jalan/ketrampilan untuk dapat mencari nafkah dan mandiri serta mampu memperjuangkan hak-haknya di dalam masyarakat.

Pimpinan Gereja dalam Roh kasih Ilahi menyatakan, bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan. Di samping itu, bantuan karitatif pun harus tetap diberikan melalui  derma. Karena itu, selalu ada dokter, guru, pengacara, dan ahli-ahli lain yang mau menolong orang miskin dengan bebas biaya atau dengan biaya murah. Pelayanan sosial maupun pelayanan karitatif dengan memberikan sedekah/derma merupakan karisma Roh Kudus, jika dilaksanakan dalam kasih Ilahi, artinya kalau merupakan ungkapan kasih Allah. Amin!

Karisma Memberikan Tumpangan

“Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut (1 Ptr 4:9). Demikianlah nasihat Santo Petrus. Santo Paulus juga memberikan nasihat yang serupa: ”Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakan dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!” (Rom 12:13). “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak mengetahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” (Ibr 13:2). Santo Yohanes menulis kepada Gayus: “... engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing. Mereka telah memberi kesaksian di hadapan jemaat tentang kasihmu. Baik benar jikalau engkau menolong mereka dalam perjalanan mereka, dengan suatu cara yang berkenan kepada Allah. Sebab karena nama Allah mereka telah berangkat dengan tidak menerima sesuatupun dari orang-orang yang tidak mengenal Allah. Kita wajib menerima orang-orang yang demikian, supaya kita boleh mengambil bagian dalam pekerjaan mereka untuk kebenaran (1 Yoh 5-8). Dalam surat kepada Timotius, disebutkan beberapa syarat untuk memilih seseorang menjadi diakon, uskup atau penatua dalam jemaat, antara lain ia harus bersifat “suka memberi tumpangan” (1 Tim 3:2).

Pada zaman dulu belum ada usaha pemerintah untuk membangun tempat penginapan bagi orang miskin dan orang asing. Maka hospitality, suka menerima tamu dengan ramah tamah, menjadi tugas kewajiban dalam umat Gereja Perdana. Terlebih ketika mereka pergi ke kota lain untuk mewartakan Injil, mereka diberi penginapan di rumah-rumah jemaat. Dalam perjalanan mereka, ada pendapat bahwa tidak baik jika mereka harus menginap di tempat-tempat umum, karena di sana banyak godaan. Karena itu, mereka membawa surat rekomendasi untuk dapat menginap di rumah-rumah orang Kristen (bdk. 2 Kor 3:1). Dalam semangat menghayati dan mewartakan Kabar Gembira Injil, mereka saling tolong-menolong dan memberi tumpangan, mereka memberi penginapan kepada hamba-hamba Tuhan yang mengajar, memberikan kesaksian iman dan bernubuat, supaya membantu penyebaran dan pendalaman iman.

Pada abad pertengahan, umat Gereja di mana-mana membangun rumah-rumah penginapan untuk para peziarah yang berjalan kaki ke tempat-tempat suci. Seperti layaknya di zaman sekarang (saya alami sendiri) dalam aneka gerakan pembaharuan iman, umat suka menolong dan memberi tumpangan kepada mereka yang berkumpul untuk kongres, konvensi, acara atau perayaan keagamaan. Dalam semangat pembaruan iman, orang-orang yang terlibat merasa lebih akrab satu sama lain dan suka memberi tumpangan kepada saudara-saudari seiman dan seperjuangan.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan pertimbangan mengenai biaya hidup yang terkadang relatif mahal dan juga pertimbangan mengenai kerepotan bagi orang yang mau memberi tumpangan, maka para rasul memberikan nasihat khusus supaya jika ada umat yang ingin memberikan tumpangan, maka hal itu hendaknya dilakukan tanpa bersungut-sungut atau marah. Memberikan tumpangan merupakan ungkapan cinta Ilahi, merupakan suatu karisma, dan suatu tanda karya Roh Kudus. Oleh karena itu, semuanya harus dlilakukan dengan lapang dada dan penuh suka cita. Memberi tumpangan harus dilakukan dalam semangat cinta kasih Tuhan, “sebab Tuhan Allah cinta kepada orang yang memberi dengan gembira” (bdk. 2 Kor 9:6-7). Puji Tuhan! ***

L. Sugiri, SJ

Diambil dari buku “In Spiritu Domini” terbitan  Komunitas Awam Putri Sion atas ijin penulis.

 

sumber dari : WS 1/th VI



Share with :

Anda mempunyai pertanyaan / komentar / saran mengenai BPN PKK, silahkan email kami ke INFO@KARISMATIKKATOLIK.ORG
kami akan segera merespon pertanyaan / komentar / saran Anda secepatnya. IG: @KARISMATIKKATOLIK  YOUTUBE: KARISMATIK KATOLIK INDONESIA

Copyright © 2007-2024 Badan Pelayanan Nasional, Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia (BPK PKK).
versi archive 2007 link : WWW.KARISMATIKKATOLIK.ORG/ARCHIVED/